top of page

Jujur itu : Mahal, Aneh, Percuma, Salah.

  • cana paranita
  • Sep 26, 2015
  • 6 min read

Jaman ini jaman yang menuntut kita untuk sempurna dalam berbagai hal. Sehingga berkata kebohongan adalah hal yang lumrah. Pernah gak rindu masa kecil , ketika kita masih polos. Ketika kita menceritakan hal-hal lucu dan gila tanpa peduli rasa gengsi?

Tanpa temen kamu melihat "apa sih hapemu", "fashionable gak sih", "emang sekaya apa dia".

Di jaman ini kekuatan penampilan diluar telah menjadi hal terkuat yang ingin ditonjolkan untuk menjadikan strata di lingkungan sosial. Menceritakan muluknya hidup kita adalah kesenangan sendiri. Tapi apakah semua itu membuat nyaman? Apakah itu jujur ? Kehidupan yang serba penuh gengsi di negara ini menjadikan semua orang menilai salah pada penampilan luar.

Ah itu hanya prolog, sekarang aku akan sedikit menceritakan tentang hal yang kualami. Tentang "anehnya" jika kita jujur.

Akhir-akhir ini waktuku terbagi cukup banyak pada beberapa kegiatan. Selain sibuk berbisnis,belajar bahasa inggris, bahasa jerman,TOEFL, kursus Marketing ASIA dan tentang otak...kini lebih disibukkan lagi dengan parttime di salah satu kafe di Malang.

Ini adalah pengalaman pertamaku menjadi seorang waitress di sebuah kafe. Pasti semua mencibir, lulusan sarjana mengapa menjadi waitress?

Apa salahnya ? Batinku, aku mendaftar sudah sejak sebelum yudisium, dan selagi dalam proses melamar pada perusahaan impianku , aku mengisi waktu dengan mencari uang sendiri. Sebenarnya uang prioritas kedua, tapi pengalaman dan ilmu adalah yang utama. Memilih untuk bekerja sambilan sebagai waitress cukup menantang, pastilah dari kedua orangtua yang tidak setuju, beberapa anggapan miring dll. Aku sudah biasa sebenarnya mengenai cemooh dll, tahu kenapa ? dari SMP aku sudah melakukan hal yang akan membuat "gengsi" kebanyakan orang. Tapi dalam benakku, selama itu benar dan halal, mengapa tidak ?

Tujuanku menjadi waitress karena aku benar-benar ingin belajar tentangf bisnis kuliner, memang merupakan keinginan besar ingin merambah dunia kuliner yang akan kuciptakan di Kota kelahiranku, Salatiga. Kota yang sedang berkembang "gaul". Masalah modal ? Ah sudah biasa kalau modal kita bisa cari ide, yang penting belajar dan belajar. Biasanya selagi ada niat kuat, modal itu bisa ngalir aja. Ada aja yang kasih, subahanallah. Tapi pengalamannya itu yang mahal, berhubung aku belum pernah ke dunia kuliner dan aku adalah orang yang sangat bodoh soal makanan. Maksudnya adalah aku gak pinter masak, cucui piring kadang juga beberapa kali aja., masak resep semua dari internet dll. Untungnya ada partnerku yang emang passion di dunia masak memasak. Tinggal taktik gimana memulai, mengatur bahan makanan, pembukuan, tips2 menyimpan makanan dll yang perlu dipelajari.

Hal yang perlu kalian tahu, menjadi seorang waitress adalah pekerjaan yang menyenangkan dan cukup melelahkan. Selain kami harus cekatan, berhati hati adalah kunci yang sangat penting.

Nah disinilah mulai aku melakukan kesalahan. Aku yang sangat jarang menyentuh peralatan masak harus terjebak pada ketidaktahuanku.

Nah berkat hal itu, aku mematahkan spatula blender di kafe tempat aku bekerja. Ceritanya panjang, yang pasti niatku membantu si waitress senior justru merusak. Hahahahah

Hal yang kurasakan pertama kali adalah panik dan merasa bersalah, pasti! Baru juga dua hari masuk kerja sudah bikin kesalahan, bodohnya aku. Begitu pikirku.

Tapi beruntunglah aku. Memiliki tim waitress yang sangat baik hati, semua saling mengerti dan membantu. Dalam hati kudoakan kesuksesan untuk teman-temanku satu tim waitress tersebut.

Karena kesalahanku itu, aku tak bisa tidur. Aku kirim pesan ke salah satu teman waitressku dan bertanya nomor kontak pemilik kafe. Kebetulan ada 3 owner kafe tersebut yang merupakan kakak tingkat beda fakultas di UB. Hebat ya masih muda, sudah punya bisnis bareng. Cakep!

Untungnya mereka paham dan mau mengerti, awalnya aku berniat mengganti seluruh blender (aku kira gak bisa beli spatulanya aja) eh ternyata bisa. Coba kalau suruh ganti semua, gajiku aja di kafe gak bakalan deh cukup buat bayar blender barunya.

Perlu 2 hari untuk mencari spatula yang baru dan akhirnya dapat. Oke terlihat beres bukan semuanya ? Mulus kan ? ternyata tidak seperti itu.

Aku masih ingat hari dimana aku mengganti spatula itu, salah satu teman waitressku bertanya "Lho kamu bilang sama ownernya kalau kamu gak sengaja patahin spatula" aku menjawabnya dengan penuh semangat "Iya mbak," dan dia menjawab "Sebenernya gak usah sih", disitu aku bingung. Apa yang salah ?

Dan aku kembali menjawab "Aku bilang mbak soalnya kalau salah satu mereka tahu spatulanya patah dan aku gak bilang nanti salah paham, mikirnya kita gak mau jujur dan nanti semua waitress bisa dicurigai" dan aku juga masih ingat saat awal janji kontrak, kita harus tanggung jawab atas segala kerusakan. Dia diam dan hanya tersenyum sambil mengacungkan jempolnya.

Mungkin inilah jawabannya, ternyata efek dari kejujuranku dan sikap tanggungjawabku cukup membawa dampak perubahan sikap pada seluruh owner padaku. Yeah, aku bisa merasakannya. Entah apa yang mereka pikirkan (sebenernya aku tahu sih), aku masih menganggapnya wajar.

Bahkan waitress lain pun heran dengan sikapku dan dia justru megatakan "Kamu kenapa ngganti spatula ini, halah cuma patah sedikit. Cuma seperti ini" hal itu membuatku merasa aneh. Apakah kejujuranku salah ? Apa aku terlalu bodoh dan polos ? Niatku hanya ingin mengatakan kesalahanku, dan dalam sms ku ak mengutarakan maaf dan berjani segera mencari pengganti spatula yang baru.

Tapi, jujur itu aneh kawan, jujur itu kamu salah, jujur itu kamu ajur

Sepertinya hal itu yang ingin dikatakan teman-temanku padaku. Tapi buatku, jujur itu nyaman, jujur itu hebat, jujur itu dekat dengan kedamaian. Orang tuaku selalu mengajarkanku untuk bertanggungjawab, sekecil bahkan seberat apapun pengakuan kesalahanmu. Jika aku lari, siapa yang paling malu ? Keluarga.

Itu hanya hal kecil, namun cerita mengenai ketidakjujuranmu akan selalu melekat pada sejarah hidupmu.

Bekerja dalam lingkungan saat "bos" bersikap 360 derajat berebda denganmu memang sangat tidak asyik. Tapi hal itu tidak menghalangiku untuk belajar. Dari pengalaman ini, jika suatu hari aku memiliki bisnis dan karyawan, aku tahu cara menyikapi ini. Karena aku pernah diposisi ini, dan mereka yang jujur akan kurangkul. Bukan kuhindari.

Ternyata Allah mendengar tujuand an doaku

Perilaku yang berbeda itu tidak membuat semangatku luntur, kutulis beberapa catatan di bukuku tentang cara mengatur sebuah kafe. Dari finance, dapur, resep hingga teknik melayani pelanggan. Aku paling suka melayani para pelanggan di kafe karena sepertu yang kalian ketahui, aku cinta marketing. Dan aku rasa pelayanan prima terhadap pelanggan kafe adalah hal dasar yang harus kupahami. Dalam melayani seorang pelanggan, kunci utama adalah ramah, senyum, welcome dan cekatan. Aku senang mengucapkan kalimat yang enjoy agar mereka nyaman, aku senang menanyakan pertanyaan kecil ketika mereka akan membayar di bagian kasir, aku senang menawarkan password wifi , aku senang mengajak mereka untuk datang kembali kesini.

Semua merefleksikan diriku, aku adalah tipe konsumen yang suka akan keramahan pelayanan, aku suka dilayani dengan sebaik mungkin. Dan karena pelayanan yang menyenangkan, aku akan selalu ingat dan bercerita banyak ke teman-temanku agar mampir ke toko itu. Dari situ, aku ingin para pelanggan di kafe tersebut juga merasakan hal itu.

Mungkin karena wajahku yang senyum-senyum ke pelanggan, akhirnya dua orang pelanggan di kafe mengajakku bercerita. Tahu mereka bercerita apa ?

Mereka memberikan SARAN, KRITIK DAN MASUKAN untuk kafe tempat aku bekerja. Lucunya mereka mengatakan semua itu padaku. Padahal sudah kutawarkan untuk mengatakan hal ini pada owner yang bersangkutan (mereka semua duduk satu meja desebelahku). Artinye, semua owner melihat aku duduk dan berbincang-bincang dengan 2 mahasiswi pintar ini.

Mereka memberikan banyak masukan yang luar biasa. Aku sampai mencatatnya detail dalam bukuku. Aku saja tidak kepikiran ide ide itu.

Mereka benar-benar kreatif, hal yang pertama kali mereka tanyakan ketika memanggilku adalah "Mbak ada kotak saran?" dan sayangnya aku menjawab tidak ada, seketika aku menawarkan diri "Ada apa kak ? apa ada masukan yang brilliant untuk kafe kami?" dan serentak mereka mengajakku untuk berbincang bersama.

Aku sangat bahagia malam itu, bertemu dengan dua mahasiswi angkatan 2013 yang berasal dari universitas yang sama, Brawijaya. Hebatnya mereka adalah anak IT yang sama sekali tidak belajar dunia bisnis. Tapi passion mereka ternyata di bidang bisnis, dan mengkritisi kafe adalah hal yang biasa mereka lakukan. Brilliant!

Aku tahu resiko dari tindakanku adalah sikap owner yang semakin kurang suka (mungkin). Karena aku terlalu akrab dengan pelanggan atau mungkin karena justru bukan dengan mereka langsung si pelanggan bisa memberikan ide hebatnya.

Setalah dua mahasiswi itu pulang, masa interogasi berlangsung. Mereka menanyakan apa yang kami bicarakan, dan dengan antusias kujelaskan beberapa masukan yang bagus itu. Ingin tahu respon mereka ?

NOL.

Dan beberapa diantaranya mencibir pelanggan tadi, memeriksa akun sosial media mereka dariku dan meremehkan ketika followersnya sedikit alias kurang "hits", lalu apa hubungannya? Yang lain juga tidak terima dengan ide - ide itu dan malah membandinggkan diri mereka dengan pelanggan tadi. Ini sangat disayangkan , terlebih mereka masih muda, mengapa sangat kaku pada suara konsumen ?

Akhirnya kulipat kertas coretanku tadi yang penuh dengan ide cemerlang, dan kusimpan dalam bukuku. Kukira mereka akan menyambut dengan antusias, ternyata hanya aku.

Itulah yang kukatakan tadi, bahwa Allah mendengarku. Aku membutuhkan ilmu dan pengalaman, ternyata Allah mempertemukan aku dengan 2 anak hebat tadi. Jika aku tak bertemu mereka, aku pasti tidak tahu kelemahan, kekuatan, peluang dari sebuah bisnis kuliner dari sudut mata konsumen secara riil. Aku sangat bahagia.

Hari-hari berikutnya tetap kulakukan dengan cara yang sama, melayani dengan sepenuh hati dan ceria. Terbukti beberapa anak yang sering kuajak bicara dan kuselipkan kata untuk mampir kembali, akhirnya memang kembali ke kafe. Dan dia mulai asyik berbicara denganku.

Disini aku belajar, bahwa menjadi seorang pemimpin, kita harus melihat, mendengar, merasakan seluruh sendi-sendi bisnis kita. Ketika kita hanya menjadi seorang bos, kita kan buta, tuli dan rapuh.

Yang pasti, jangan pernah ragu untuk berbuat jujur dan baik. Allah memberikan kita banyak jalan melalui cara-cara yang tidak terduga. Aku senang memiliki pengalaman menjadi waitress, aku bisa belajar secara langsung dan gratis (bahkan dibayar), aku memiliki banyak teman lagi, aku menjalani dunia yang kusenangi disini. Semua memang warna-warni, itulah hidup bukan ?

 
 
 

Comments


BERTEMAN MULAI DARI HARI INI 

@cannacini

Jakarta-Salatiga

Indonesia

bottom of page